HORMATI GURU
sumber foto: alasantri.com
Adalah Sawad bin Ghaziyyah, sahabat yang keluar dari
barisan saat perang Badar. Mengetahui hal ini, Nabi kemudian memukulnya
dengan tongkat dan berkata, kembalilah ke dalam barisan wahai Sawad.
Meski dalam rangka menegur dan mengingatkan, namun tongkat Nabi tepat
mengenai perut Sawad. Siapa sangka, bukannya langsung kembali, Sawad
justru berkata, engkau telah menyakiti diriku wahai Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam. Bukankah engkau diutus untuk kebenaran
dan keadilan. Maka, izinkanlah aku untuk membalas dirimu.
Nabi
langsung membuka bajunya sembari berkata, balaslah aku wahai Sawad.
Seketika itu pula Sawad bin Ghaziyyah langsung memeluk Nabi dan mencium
tubuh mulia beliau. Kamudian Nabi berkata, apa yang membuatmu seperti
ini? Dengan sangat hati-hati Sawad menjawab. Di akhir hayatku, aku ingin
kulitku dapat bersentuhan dengan kulitmu yang mulia ya Rasul. Akhirnya
Nabi mendoakan kebaikan untuk Sawad bin Ghaziyyah.
Merupakan
kewajiban bagi pemimpin perang untuk menegur dan mengingatkan pasukannya
saat satu diantara mereka melakukan kesalahan. Misalnya keluar dari
barisan saat perang tengah berlangsung.
Di abad milenial sekarang
ini, guru adalah panglima perang dalam melawan kebodohan. Sebagai
panglima, ia wajib menegur dan mengingatkan pasukannya (peserta didik)
saat satu diantara mereka tersalah. Misalnya mulai malas untuk belajar.
Dalam perang, ini adalah kondisi dimana kita lengah terhadap serangan
musuh. Hasilnya, jelas kita akan kalah. Mengikuti perkuliahan tanpa
sebelumnya membaca materi yang akan dipelajari. Ini sama dengan nekat
mengikuti peperangan tanpa persiapan terlebih dahulu. Jika dilakukan,
kita akan gugur di tengah pertempuran. Suka tidak suka, pasti akan gagal
studi. Untuk menghindari kemungkinan buruk seperti ini, seorang
pendidik harus tekun menegur dan mengingatkan pasukannya dengan penuh
kesabaran dan keikhlasan.
Meski memukul dalam rangka menegur, Nabi
tetap sadar bahwa yang dilakukan telah menyakiti orang lain. Karenanya,
saat Sawad bin Ghaziyyah meminta izin untuk membalas, dengan ikhlas
Nabi memberikan tubuhnya. Seperti itu pula lah semestinya sosok seorang
guru sebagai panglima perang dalam melawan kebodohan. Guru harus
memiliki sikap terbuka terhadap kritik dan saran. Kita harus ikhlas
menerima balasan apapun dari setiap perbuatan kita. Meski niat kita
baik, namun karena satu dan lain hal, belum tentu akan dinilai baik pula
menurut orang lain. Menegur dan mengingatkan untuk kebaikan semestinya
dilakukan dengan cara yang baik pula. Amar ma'ruf seharusnya dilakukan
dengan cara yang ma'ruf. Sementara nahi munkar jangan sampai dilakukan
dengan cara yang munkar. Apalagi sampai menyebabkan kemunkaran yang
lebih parah.
Sebagai murid, kita juga perlu belajar dari sikap
Sawad kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Ikhlas menerima
teguran dan nasihat yang diberikan oleh guru. Kita harus yakin bahwa
yang dilakukan guru adalah yang terbaik untuk kita. Ungkapan Sawad
kepada Nabi yang sekilas seperti menuntut balas, sejatinya hanya siasat
untuk dapat mengekspesikan cintanya kepada beliau. Terbukti ketika
kesempatan itu benar-benar diberikan, ia tak membalas sedikitpun.
Bahkan, ia justru memeluk dan mencium perut mulia Nabi Muhammad saw.
Bahwa
usaha tak pernah mengkhianati hasil memanglah benar adanya. Namun
akhlak dan penghormatan siswa kepada guru juga merupakan faktor penting
dalam menentukan kesuksesan. Sehebat apapun pasukan perang, jika tidak
patuh dengan panglimanya, niscaya akan gugur di medan pertempuran.
Sebaliknya, meski tak bisa apa-apa. Namun selalu rajin belajar, patuh
dan hormat kepada guru, mencintainya setulus hati. Maka tidak mustahil
kita akan menjadi orang hebat di kemudian hari. Percayalah, setiap guru
selalu mendoakan siswanya agar menjadi pribadi hebat yang bermanfaat
bagi nusa, bangsa, dan agama. Persis seperti Nabi mendoakan kebaikan
untuk Sawad bin Ghaziyyah meskipun ia telah melakukan kesalahan.
Semoga bermanfaat
Pekanbaru, 04/02/2018